( de ) KONSTRUKSI IDEOLOGI NEGARA
I. Prespektif
Metodologis
A. Dekonstruksi
Tafsir
1.
Bahaya Tafsir Monolitik
Berbagai bentuk
interprstasi monolitik selama ini cenderung mengaburkan dan menguburkan makna
substansial Pancasila. Disamping melembagakan pancasila dalam BP-7 dengan P4
sebagai sarana indoktrinasi, oknum penyelenggara negara ( terutama rezim orde
baru ) juga menjadikan Pancasila sebagai tameng atau alat justifikasi
tindakan-tindakan koersif ( penekanan dan kekerasan ) terhadap lawan-lawan
politik yang mencoba melawan arus.
Pereduksian atas
makna Pancasila ke dalam pemahaman dan penggunaan yang sempit dan politis ini
berakibat pada :
a. Pancasila
sebagai mitos
Selama ini kita menyosialisasikan Pancasila
cenderung lebih sebagai mitos dari pada ideologi. Adanya keperluan sejarah (
historical necessity ) yang tak terelakkan, yaitu perlunya konsensus nasional.
b. Pancasila
selalu dipahami secara politis-ideologis untuk kepentingan kekuasaan
Pancasila belum dijadikan landasn bagi pelaksana
kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak hanya oleh penguasa tetapi seluruh
komponen bangsa.
2.
Urgensi Dekonstruksi Tafsir
Berbagai akibat
dari reduksi makna Pancasila diatas telah menyadarkan kita untuk kembali
melakukan ‘dekonstruksi‘ atau membaca ulang berbagai bentuk tafsiran atas Pancasila.
B. Konstruksi
Tafsir
1.
Reaktualisasi
Tujuan negara
adalah bagaimana agar setiap elemen didalamnya diperbolehkan beraktualisasi
seoptimal mungkin tanpa hambatan,betul-betul menjadi manusia “merdeka” dan juga
bukan menjadi manusia yang “menjajah” teman atau saudaranya sendiri.
Hal tersebut
diwujudkan karena Pancasila itu sendiri memuat lima prinsip dasar yang penting
dalamnya : (1). Kesatuan/persatuan(2).kebebasan(3). Persamaan(4). Kepribadian
(5). Prestasi. Kelima prinsip ini merupakan dasar yang sesuai bagi pembangunan
sebuah masyarakat, bangsa dan personal yang didalamnya.
2.
Radikalisasi Tafsir
Radikalisasi dan
objektivitas Pancasila,sebagaimana yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo kiranya
patut direnungkan. Menurutnya sebagai ideologi Pancasila dituntut untuk tetap
pda jati dirinya, kedalam dan keluar. Ke dalam pancasila harus : (1). Konsisten
(2). Koheren (3). Koresponden, sedangkan keluar, harus menjadi penyalur dan
penyaring kepentingan (4). Horisontal (5). Vertikal.
II. Prespektif
Edukatif
A. Kritik
atas Proses Pendidikan Pancasila
Berbeda
degan UU Sistem Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989, yang mencantumkan
Pendidikan Pancasila seagai substansi wajib bagi setiap jenjang pendidikan di
Indonesia, maka dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan Pancasila dihapus,dan
diganti dengan Bahasa.
Berbagai
kritik yang dilontarkan pada Pendidikan Pancasila antara lain : (1). Substansi
Pendidikan Pancasila idealis dan utopis, bahkan kadang tidak jelas, sehingga
Pancasila sulit bahkan tidak pernah terealisasi dalam kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan. (2). Peserta didik kurang tertarik dan sudah apriori terhadap
Pendidikan Pancasila, yang dianggap terlalu indoktrinatif, monoton,statis,
sarat dengan kepentingam penguasa, dan pengulang-pengulang semata. (3). Hasil
pendidikan Pancasila hanya melahirkan orang-orang yang pandai menghafal tetapi
tidak mengamalkannya.
B. Melacak
Akar permasalahan dan mencari jalan keluar
Khusus
terkait dengan Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi, akar permasalahan
bersifat sisitematik, karena terkait dengan in put internal mahasiswa (aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik sbelum proses pendidikan ), in put
instrument ( kurikulum, silabus, materi perkuliahan, dosen, metode pengajaran,
sarana pendukung pembelajaran, suasana pembelajaran ) in put lingkungan (
pengaruh agama, ideologi, politik, ekonomi,sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan ), target hasil yang ingin dicapai ( ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik ) turut mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan perkuliahan
pancasila.
III. Prespektif
Filosofis
A. Kesalahpahaman
tentang Status Ontologis
Pancasila
adalah istilah yang digunakan untuk menyebut nilai-nilai atau prinsip-prinsip
yang akan digunakan untuk mendasari bangunan negara Indonesia yang merdeka. Sisi
lain yang memperburam citra Pancasila adalah gagasan yang dikembangkan oleh
para pemikir Pancasila dan masyarakat pendukungnya yang terjebak menjadikan
Pancasila sebagai mitos.
B. Kesalahpahaman
tentang Status Epistimologi
Kesalahpahaman
pada status epistimologi terjadi manakala kita salah dalam memahami proses,
jenis kebenaran yang ditawarkan, tingkat kebenaran, dan validitas kebenaran
Pancasila. Kesalahpahaman ini ditunjukkan dengan banyaknya truth claims
klaim-klaim kebenaran yang berlebihan terhadap Pancasila sebagaimana disebut
diatas.
IV. Prespektif
Historis
A.
Era BPUPKI Dan PPKI
Kekalahan
tentara Belanda 1942 dari tentara jepang di Kalijaang unti merupakan awal
berakhirnya penjajahan Belanda Di Indonesia. Strategi jepang untuk menajajah
Indonesia memang cukup bagus, yaitu degan memperbolehkan rakyat Indonesia
mengibarkan bendera merah putih, menyayikan lagu Indonesia raya, dan untuk
mengganti sementara waktu tenaga administratifnya yang ditenggelamkan sekutu,
pegawai pangreh praja Indonesia dinaikkan pangkatnya meskipun diturunkan
gajinya.
Pemberian
kemerdekaan dan bayangan kekalahan jepang tersebut akhirnya ‘memaksa’ mereka
untuk mengumumkan pembentukan ‘Dokuritus Zyumbi Tyoosakai’ yang disebut
kemudian BPUPKI. Sidang pleno BPUPKI pertama diadakan dari tanggal 28 Mei
sampai dengan tanggal 1 Juni 1945. Tanggal 28 Mei sidang dibuka dengan sambutan
saiko syikikan, gunseikan, yang menasehati
BPUPKI.Awal munculnya Pancasila disadari adalah bagian yang tidak
terletak dari sejumlah pergulatan dan perdebatan founding fathers tatkala
berbicara mengenai dasar negara.
B. Era
Orde Lama
Dinamika
perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila adalah wajah dominan
perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965. Hal ini tampak ketika akhir tahun
1950-an, Pancasila sudah tidak lagi merupakan kompromi atau titik pertemuan
bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksudkan oleh soekarno. Ini karena
Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untk melegitimasi
tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam.
C. Era
Orde Baru
Pada
awal kekuasaannya, Soeharto berusaha menyakinkan bahwa rezim baru ini adalah
pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Kekuasaan awal Orde Baru
sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta
atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah
salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.
Bagi
Orde Baru, berbagai bentuk perdebatan mengenai ideologi negara, utamanya antara
kelompok Islam versus nasionalis, ternyata tidak semakin membuat stabilitas
nasional berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang lebih
mengedapan. Belajar dari tragedi Orde Lama yang ‘agak’ serba permisif dalam
memberikan ruang bagi tumbuhnya berbagai ideologi lain, diluara ideologi yang
‘dianggap’ resmi oleh negara yang berakibat fatal bagi berlangsungnya
stabilitas kekuasaan tersebut.
D. Era
Reformasi
Pada
era ini, kemudian berkembang secara pesat keinginan untuk ‘menghayalkan’
terbentuknya masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan sosial, tanpa
kooptasi penuh dari negara. Era Reformasi ini dihadapkan pada tantangan besar,
yaitu tuntutan demokrasi di satu pihak, namun demokrasi tidak disertai
penegakan hukum yang jelas, maka yang akan timbul anarkhi.
V. Perspektif
Ideologis
A.
Kematian/Kehisupan Kembali Ideologi
Disadari
bahwa dengan dirumuskannya Pancasila sebagai ideologi bangsa, maka secara
implisit maupun eksplisit, mengandung suatu konsekuensi logis bagi keseluruhan
organ-organ dan masyarakat yang hidup dalam negara Indonesia merdeka. Hal
sesungguhnya dapat dirumuskan sebagai kompleks pengetahuan dan nilai, yang
secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang untuk memahami jagatnya dan
bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengelolanya.
B. Relasi
Ideologi dan Realitas Sosial
Dalam
terminologi ini, ada kolerasi logis antara ideologi dengan kenyataan hidup
masyarakat, karena ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri lepas dari
kenyataan hidup masyarakat. Berdasarkan pada pemahaman ini, maka pada
hakikatnya ideologi tidak lain adalah hasil refleksi manusia berkat
kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya.
Sebagai
sebuah ideologi Pancasila merupakan seperangkat nilai yang tidak hanya
beranyamkan idealisasi gambaran masa depan masyarakat Indonesia tetapi juga
memuat sejumlah perangkat nilai yang berakar pada realitas empirik.
C. Kekuatan
Ideologi ( Pancasila )
Pada
dasarnya kekuatan ideologi ( Pancasila ) dapat diukur melalui 3 ( tiga )
dimensi yang saling berkaitan, saling mengisi dan saling memperkuat. Ketiga
dimensi itu adalah, (1). Dimensi realitas : dimana ideologi itu mengandung
makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari
nilai-nilai yang riil hidup dalam masyarakat. (2). Dimensi idealitas : suatu
ideologi harus mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (3). Dimensi fleksibilitas :
bahwa ideologi harus memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang
pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa menghilangkan
atau mengingkari hakikat yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
VI. Prespektif
Organisatoris
A.
Visi, Misi, dan Values Negara
Visi
merupakan impian, tatapan mata jauh ke depan yang ingin dituju oleh suatu
organisasi atau negara. Ditinjau dari itu, maka Pembukaan UUD 1945 telah
memberikan gambaran yang jelas tentang visi negara ini kedepan, yaitu negara
merdeka,bersatu,berdaulat adil dan makmur.
Misi
adalah sesuatu yang dikerjakan untuk merealisasikan visi di atas. Misi negara
Republik Indonesia adalah :
1. Melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan
kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan
kehidupan bangsa.
4. Ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Values
adalah nilai-nilai yang disepakati, dipegang bersama dan menjadi dasar dalam
mewujudkan visi dan misi tersebut. Nilai inilah yang akan menjadi perekat
sekaligus sumber inspirasi dalam merealisasikan visi dan misi.
B. Potensi
Pembentukan Masyarakat Sipil
Harus
diakui bahwa kemunculan masyarakat sipil di Indonesia adalah konsekuensi logis
dari kecenderungan politik global demokrasi yang menjadikan civil society
sebagai icon-nya. Masayarakat sipil lebih merupakan penerimaan manfaat (
beneficiary ) dari pada sebuah kekuatan penghancur. Lebih dari itu,masyarakat
sipil tidak harus diidealiskan sebagai suatu kebaikan sempurna.
0 komentar:
Posting Komentar