Pages

Kamis, 27 Februari 2014

( de ) KONSTRUKSI IDEOLOGI NEGARA



( de ) KONSTRUKSI IDEOLOGI NEGARA

I.     Prespektif Metodologis
A.  Dekonstruksi Tafsir
1.        Bahaya Tafsir Monolitik
Berbagai bentuk interprstasi monolitik selama ini cenderung mengaburkan dan menguburkan makna substansial Pancasila. Disamping melembagakan pancasila dalam BP-7 dengan P4 sebagai sarana indoktrinasi, oknum penyelenggara negara ( terutama rezim orde baru ) juga menjadikan Pancasila sebagai tameng atau alat justifikasi tindakan-tindakan koersif ( penekanan dan kekerasan ) terhadap lawan-lawan politik yang mencoba melawan arus.
Pereduksian atas makna Pancasila ke dalam pemahaman dan penggunaan yang sempit dan politis ini berakibat pada :
a.    Pancasila sebagai mitos
Selama ini kita menyosialisasikan Pancasila cenderung lebih sebagai mitos dari pada ideologi. Adanya keperluan sejarah ( historical necessity ) yang tak terelakkan, yaitu perlunya konsensus nasional.
b.    Pancasila selalu dipahami secara politis-ideologis untuk kepentingan kekuasaan
Pancasila belum dijadikan landasn bagi pelaksana kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak hanya oleh penguasa tetapi seluruh komponen bangsa.
2.        Urgensi Dekonstruksi Tafsir
Berbagai akibat dari reduksi makna Pancasila diatas telah menyadarkan kita untuk kembali melakukan ‘dekonstruksi‘ atau membaca ulang berbagai bentuk tafsiran atas Pancasila.
B.  Konstruksi Tafsir
1.        Reaktualisasi
Tujuan negara adalah bagaimana agar setiap elemen didalamnya diperbolehkan beraktualisasi seoptimal mungkin tanpa hambatan,betul-betul menjadi manusia “merdeka” dan juga bukan menjadi manusia yang “menjajah” teman atau saudaranya sendiri.
Hal tersebut diwujudkan karena Pancasila itu sendiri memuat lima prinsip dasar yang penting dalamnya : (1). Kesatuan/persatuan(2).kebebasan(3). Persamaan(4). Kepribadian (5). Prestasi. Kelima prinsip ini merupakan dasar yang sesuai bagi pembangunan sebuah masyarakat, bangsa dan personal yang didalamnya.
2.        Radikalisasi Tafsir
Radikalisasi dan objektivitas Pancasila,sebagaimana yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo kiranya patut direnungkan. Menurutnya sebagai ideologi Pancasila dituntut untuk tetap pda jati dirinya, kedalam dan keluar. Ke dalam pancasila harus : (1). Konsisten (2). Koheren (3). Koresponden, sedangkan keluar, harus menjadi penyalur dan penyaring kepentingan (4). Horisontal (5). Vertikal.
II.  Prespektif Edukatif
A.  Kritik atas Proses Pendidikan Pancasila
Berbeda degan UU Sistem Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989, yang mencantumkan Pendidikan Pancasila seagai substansi wajib bagi setiap jenjang pendidikan di Indonesia, maka dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan Pancasila dihapus,dan diganti dengan Bahasa.
Berbagai kritik yang dilontarkan pada Pendidikan Pancasila antara lain : (1). Substansi Pendidikan Pancasila idealis dan utopis, bahkan kadang tidak jelas, sehingga Pancasila sulit bahkan tidak pernah terealisasi dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. (2). Peserta didik kurang tertarik dan sudah apriori terhadap Pendidikan Pancasila, yang dianggap terlalu indoktrinatif, monoton,statis, sarat dengan kepentingam penguasa, dan pengulang-pengulang semata. (3). Hasil pendidikan Pancasila hanya melahirkan orang-orang yang pandai menghafal tetapi tidak mengamalkannya.
B.  Melacak Akar permasalahan dan mencari jalan keluar
Khusus terkait dengan Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi, akar permasalahan bersifat sisitematik, karena terkait dengan in put internal mahasiswa (aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sbelum proses pendidikan ), in put instrument ( kurikulum, silabus, materi perkuliahan, dosen, metode pengajaran, sarana pendukung pembelajaran, suasana pembelajaran ) in put lingkungan ( pengaruh agama, ideologi, politik, ekonomi,sosial, budaya, pertahanan dan keamanan ), target hasil yang ingin dicapai ( ranah kognitif, afektif dan psikomotorik ) turut mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan perkuliahan pancasila.


III.   Prespektif Filosofis
A.       Kesalahpahaman tentang Status Ontologis
Pancasila adalah istilah yang digunakan untuk menyebut nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang akan digunakan untuk mendasari bangunan negara Indonesia yang merdeka. Sisi lain yang memperburam citra Pancasila adalah gagasan yang dikembangkan oleh para pemikir Pancasila dan masyarakat pendukungnya yang terjebak menjadikan Pancasila sebagai mitos.
B.  Kesalahpahaman tentang Status Epistimologi
Kesalahpahaman pada status epistimologi terjadi manakala kita salah dalam memahami proses, jenis kebenaran yang ditawarkan, tingkat kebenaran, dan validitas kebenaran Pancasila. Kesalahpahaman ini ditunjukkan dengan banyaknya truth claims klaim-klaim kebenaran yang berlebihan terhadap Pancasila sebagaimana disebut diatas.
IV.   Prespektif Historis
A.  Era BPUPKI Dan PPKI
Kekalahan tentara Belanda 1942 dari tentara jepang di Kalijaang unti merupakan awal berakhirnya penjajahan Belanda Di Indonesia. Strategi jepang untuk menajajah Indonesia memang cukup bagus, yaitu degan memperbolehkan rakyat Indonesia mengibarkan bendera merah putih, menyayikan lagu Indonesia raya, dan untuk mengganti sementara waktu tenaga administratifnya yang ditenggelamkan sekutu, pegawai pangreh praja Indonesia dinaikkan pangkatnya meskipun diturunkan gajinya.
Pemberian kemerdekaan dan bayangan kekalahan jepang tersebut akhirnya ‘memaksa’ mereka untuk mengumumkan pembentukan ‘Dokuritus Zyumbi Tyoosakai’ yang disebut kemudian BPUPKI. Sidang pleno BPUPKI pertama diadakan dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945. Tanggal 28 Mei sidang dibuka dengan sambutan saiko syikikan, gunseikan, yang menasehati  BPUPKI.Awal munculnya Pancasila disadari adalah bagian yang tidak terletak dari sejumlah pergulatan dan perdebatan founding fathers tatkala berbicara mengenai dasar negara.
B.  Era Orde Lama
Dinamika perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila adalah wajah dominan perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965. Hal ini tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah tidak lagi merupakan kompromi atau titik pertemuan bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksudkan oleh soekarno. Ini karena Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untk melegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam.
C.  Era Orde Baru
Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha menyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Kekuasaan awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.
Bagi Orde Baru, berbagai bentuk perdebatan mengenai ideologi negara, utamanya antara kelompok Islam versus nasionalis, ternyata tidak semakin membuat stabilitas nasional berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang lebih mengedapan. Belajar dari tragedi Orde Lama yang ‘agak’ serba permisif dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya berbagai ideologi lain, diluara ideologi yang ‘dianggap’ resmi oleh negara yang berakibat fatal bagi berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut.
D.  Era Reformasi
Pada era ini, kemudian berkembang secara pesat keinginan untuk ‘menghayalkan’ terbentuknya masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan sosial, tanpa kooptasi penuh dari negara. Era Reformasi ini dihadapkan pada tantangan besar, yaitu tuntutan demokrasi di satu pihak, namun demokrasi tidak disertai penegakan hukum yang jelas, maka yang akan timbul anarkhi.
V.      Perspektif Ideologis
A.  Kematian/Kehisupan Kembali Ideologi
Disadari bahwa dengan dirumuskannya Pancasila sebagai ideologi bangsa, maka secara implisit maupun eksplisit, mengandung suatu konsekuensi logis bagi keseluruhan organ-organ dan masyarakat yang hidup dalam negara Indonesia merdeka. Hal sesungguhnya dapat dirumuskan sebagai kompleks pengetahuan dan nilai, yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang untuk memahami jagatnya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengelolanya.
B.  Relasi Ideologi dan Realitas Sosial
Dalam terminologi ini, ada kolerasi logis antara ideologi dengan kenyataan hidup masyarakat, karena ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri lepas dari kenyataan hidup masyarakat. Berdasarkan pada pemahaman ini, maka pada hakikatnya ideologi tidak lain adalah hasil refleksi manusia berkat kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya.
Sebagai sebuah ideologi Pancasila merupakan seperangkat nilai yang tidak hanya beranyamkan idealisasi gambaran masa depan masyarakat Indonesia tetapi juga memuat sejumlah perangkat nilai yang berakar pada realitas empirik.
C.  Kekuatan Ideologi ( Pancasila )
Pada dasarnya kekuatan ideologi ( Pancasila ) dapat diukur melalui 3 ( tiga ) dimensi yang saling berkaitan, saling mengisi dan saling memperkuat. Ketiga dimensi itu adalah, (1). Dimensi realitas : dimana ideologi itu mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari nilai-nilai yang riil hidup dalam masyarakat. (2). Dimensi idealitas : suatu ideologi harus mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (3). Dimensi fleksibilitas : bahwa ideologi harus memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
VI.   Prespektif Organisatoris
A.  Visi, Misi, dan Values Negara
Visi merupakan impian, tatapan mata jauh ke depan yang ingin dituju oleh suatu organisasi atau negara. Ditinjau dari itu, maka Pembukaan UUD 1945 telah memberikan gambaran yang jelas tentang visi negara ini kedepan, yaitu negara merdeka,bersatu,berdaulat adil dan makmur.
Misi adalah sesuatu yang dikerjakan untuk merealisasikan visi di atas. Misi negara Republik Indonesia adalah :
1.    Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2.    Memajukan kesejahteraan umum.
3.    Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4.    Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Values adalah nilai-nilai yang disepakati, dipegang bersama dan menjadi dasar dalam mewujudkan visi dan misi tersebut. Nilai inilah yang akan menjadi perekat sekaligus sumber inspirasi dalam merealisasikan visi dan misi.
B.       Potensi Pembentukan Masyarakat Sipil
Harus diakui bahwa kemunculan masyarakat sipil di Indonesia adalah konsekuensi logis dari kecenderungan politik global demokrasi yang menjadikan civil society sebagai icon-nya. Masayarakat sipil lebih merupakan penerimaan manfaat ( beneficiary ) dari pada sebuah kekuatan penghancur. Lebih dari itu,masyarakat sipil tidak harus diidealiskan sebagai suatu kebaikan sempurna. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Tweeter